Oleh : Inda Puspita
Di era digital ini, media sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak muda. Instagram, TikTok, Twitter, dan berbagai platform lainnya bukan hanya tempat berbagi momen, tetapi juga arena pencarian identitas, penerimaan sosial, hingga pelarian dari realita. Namun, di balik segala kemudahan dan hiburan yang ditawarkan, ada sisi gelap dari media sosial yang semakin nyata: dampaknya terhadap kesehatan mental anak muda. Media sosial bisa menjadi “racun manis”. Ia terlihat menyenangkan, tetapi diam-diam membentuk cara berpikir, mengikis kepercayaan diri, dan memperparah tekanan batin.
Menurut laporan World Health Organization (WHO), sekitar 10-20% remaja di dunia mengalami gangguan mental, dan sebagian besar tidak menerima perawatan atau perhatian yang layak. Di Indonesia, data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional pada remaja usia 15 tahun ke atas mencapai 9,8%. Salah satu factor pemicunya adalah penggunaan media sosial yang berlebihan.
Sebuah studi dari University of Pennsylvania (2018) membuktikan bahwa penggunaan media sosial lebih dari 30 menit per hari secara signifikan berkaitan dengan meningkatnya gejala depresi, kecemasan, dan kesepian. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) takut tertinggal dari trend atau kehidupan orang lain menjadi tekanan psikologis tersendiri bagi anak muda. Mereka membandingkan diri dengan unggahan yang hanya menunjukkan “highlight” kehidupan orang lain, dan merasa hidup mereka kurang berarti.
Untuk mempertegas bahaya ini, mari kita lihat kasus ekstrem yang mengguncang publik: pada tahun 2017, seorang gadis remaja Inggris bernama Molly Russell bunuh diri di usia 14 tahun. Setelah kematiannya, orang tua Molly menemukan bahwa ia telah mengakses konten media sosial tentang depresi dan bunuh diri secara intens di Instagram dan Pinterest. Hasil investigasi menunjukkan bahwa algoritma platform tersebut justru “menyajikan” lebih banyak konten negatif karena dianggap sesuai dengan minat pencarian Molly. Kasus ini menggemparkan dunia dan memicu debat global tentang tanggung jawab media sosial terhadap kesehatan mental pengguna muda.
Dengan demikian, ketergantungan pada media sosial bukan sekadar kebiasaan, melainkan potensi ancaman psikologis yang serius. Anak muda, yang masih mencari jati diri dan rentan terhadap pengaruh luar, sangat mudah terjerumus dalam siklus membandingkan diri, mencari validasi, dan mengalami tekanan sosial yang intens di dunia maya.
Penutup
Media sosial memang membawa manfaat jika digunakan secara bijak. Namun, anak muda dan orang tua perlu lebih waspada. Edukasi digital, pembatasan waktu layar, dan detoks media social secara berkala adalah langkah sederhana tapi penting untuk menjaga kesehatan mental. Jangan sampai kita kehilangan generasi muda yang potensial hanya karena kita abai terhadap racun digital yang tersembunyi di balik layar ponsel.